Welcome to my blog, hope you enjoy reading
RSS

Sabtu, 30 April 2011

khilafah fil islam

Masa Kemajuan Islam (650-1000 M) - Khilafah Rasyidah merupakan pemimpin umat Islam setelah Nabi Muhammad SAW wafat, yaitu pada masa pemerintahan Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, dimana sistem pemerintahan yang diterapkan adalah pemerintahan yang demokratis.
Nabi Muhammad SAW tidak meninggalkan wasiat tentang siapa yang akan menggantikan beliau sebagai pemimpin politik umat Islam setelah beliau wafat. Beliau nampaknya menyerahkan persoalan tersebut kepada kaum muslimin sendiri untuk menentukannya. Karena itulah, tidak lama setelah beliau wafat; belum lagi jenazahnya dimakamkan, sejumlah tokoh Muhajirin dan Anshar berkumpul di balai kota Bani Sa'idah, Madinah. Mereka memusyawarahkan siapa yang akan dipilih menjadi pemimpin. Musyawarah itu berjalan cukup alot karena masing-masing pihak, baik Muhajirin maupun Anshar, sama-sama merasa berhak menjadi pemimpin umat Islam. Namun, dengan semangat ukhuwah Islamiyah yang tinggi, akhirnya, Abu Bakar terpilih. Rupanya, semangat keagamaan Abu Bakar mendapat penghargaan yang tinggi dari umat Islam, sehingga masing-masing pihak menerima dan membaiatnya.
Sebagai pemimpin umat Islam setelah Rasul, Abu Bakar disebut Khalifah Rasulillah (Pengganti Rasul) yang dalam perkembangan selanjutnya disebut khalifah saja. Khalifah adalah pemimpin yang diangkat sesudah Nabi wafat untuk menggantikan beliau melanjutkan tugas-tugas sebagai pemimpin agama dan kepala pemerintahan.
Abu Bakar menjadi khalifah hanya dua tahun. Pada tahun 634 M ia meninggal dunia. Masa sesingkat itu habis untuk menyelesaikan persoalan dalam negeri terutama tantangan yang ditimbulkan oleh suku-suku bangsa Arab yang tidak mau tunduk lagi kepada pemerintah Madinah. Mereka menganggap bahwa perjanjian yang dibuat dengan Nabi Muhammad SAW, dengan sendirinya batal setelah Nabi wafat. Karena itu mereka menentang Abu Bakar. Karena sikap keras kepala dan penentangan mereka yang dapat membahayakan agama dan pemerintahan, Abu Bakar menyelesaikan persoalan ini dengan apa yang disebut Perang Riddah (perang melawan kemurtadan). Khalid ibn Al-Walid adalah jenderal yang banyak berjasa dalam Perang Riddah ini.
Nampaknya, kekuasaan yang dijalankan pada masa Khalifah Abu Bakar, sebagaimana pada masa Rasulullah, bersifat sentral; kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif terpusat di tangan khalifah. Selain menjalankan roda pemerintahan, Khalifah juga melaksanakan hukum. Meskipun demikian, seperti juga Nabi Muhammad SAW, Abu Bakar selalu mengajak sahabat-sahabat besarnya bermusyawarah.
Setelah menyelesaikan urusan perang dalam negeri, barulah Abu Bakar mengirim kekuatan ke luar Arabia. Khalid ibn Walid dikirim ke Iraq dan dapat menguasai al-Hirah di tahun 634 M. Ke Syria dikirim ekspedisi di bawah pimpinan empat jenderal yaitu Abu Ubaidah, Amr ibn 'Ash, Yazid ibn Abi Sufyan dan Syurahbil. Sebelumnya pasukan dipimpin oleh Usamah yang masih berusia 18 tahun. Untuk memperkuat tentara ini, Khalid ibn Walid diperintahkan meninggalkan Irak, dan melalui gurun pasir yang jarang dijalani, ia sampai ke Syria.
Abu Bakar meninggal dunia, sementara barisan depan pasukan Islam sedang mengancam Palestina, Irak, dan kerajaan Hirah. Ia diganti oleh "tangan kanan"nya, Umar ibn Khattab. Ketika Abu Bakar sakit dan merasa ajalnya sudah dekat, ia bermusyawarah dengan para pemuka sahabat, kemudian mengangkat Umar sebagai penggantinya dengan maksud untuk mencegah kemungkinan terjadinya perselisihan dan perpecahan di kalangan umat Islam. Kebijaksanaan Abu Bakar tersebut ternyata diterima masyarakat yang segera secara beramai-ramai membaiat Umar. Umar menyebut dirinya Khalifah Rasulillah (pengganti dari Rasulullah). Ia juga memperkenalkan istilah Amir al-Mu'minin (Komandan orang-orang yang beriman).
Di zaman Umar gelombang ekspansi (perluasan daerah kekuasaan) pertama terjadi; ibu kota Syria, Damaskus, jatuh tahun 635 M dan setahun kemudian, setelah tentara Bizantium kalah di pertempuran Yarmuk, seluruh daerah Syria jatuh ke bawah kekuasaan Islam. Dengan memakai Syria sebagai basis, ekspansi diteruskan ke Mesir di bawah pimpinan 'Amr ibn 'Ash dan ke Irak di bawah pimpinan Sa'ad ibn Abi Waqqash. Iskandaria, ibu kota Mesir, ditaklukkan tahun 641 M. Dengan demikian, Mesir jatuh ke bawah kekuasaan Islam. Al-Qadisiyah, sebuah kota dekat Hirah di Iraq, jatuh tahun 637 M. Dari sana serangan dilanjutkan ke ibu kota Persia, al-Madain yang jatuh pada tahun itu juga. Pada tahun 641 M, Mosul dapat dikuasai. Dengan demikian, pada masa kepemimpinan Umar, wilayah kekuasaan Islam sudah meliputi Jazirah Arabia, Palestina, Syria, sebagian besar wilayah Persia, dan Mesir.
Karena perluasan daerah terjadi dengan cepat, Umar segera mengatur administrasi negara dengan mencontoh administrasi yang sudah berkembang terutama di Persia. Administrasi pemerintahan diatur menjadi delapan wilayah propinsi: Makkah, Madinah, Syria, Jazirah Basrah, Kufah, Palestina, dan Mesir. Beberapa departemen yang dipandang perlu didirikan. Pada masanya mulai diatur dan ditertibkan sistem pembayaran gaji dan pajak tanah. Pengadilan didirikan dalam rangka memisahkan lembaga yudikatif dengan lembaga eksekutif. Untuk menjaga keamanan dan ketertiban, jawatan kepolisian dibentuk. Demikian pula jawatan pekerjaan umum. Umar juga mendirikan Bait al-Mal, menempa mata uang, dan menciptakan tahun hijrah.
Umar memerintah selama sepuluh tahun (13-23 H/634-644 M). Masa jabatannya berakhir dengan kematian. Dia dibunuh oleh seorang budak dari Persia bernama Abu Lu'lu'ah. Untuk menentukan penggantinya, Umar tidak menempuh jalan yang dilakukan Abu Bakar. Dia menunjuk enam orang sahabat dan meminta kepada mereka untuk memilih salah seorang diantaranya menjadi khalifah. Enam orang tersebut adalah Usman, Ali, Thalhah, Zubair, Sa'ad ibn Abi Waqqash, Abdurrahman ibn 'Auf. Setelah Umar wafat, tim ini bermusyawarah dan berhasil menunjuk Utsman sebagai khalifah, melalui persaingan yang agak ketat dengan Ali ibn Abi Thalib.
Di masa pemerintahan Utsman (644-655 M), Armenia, Tunisia, Cyprus, Rhodes, dan bagian yang tersisa dari Persia, Transoxania, dan Tabaristall berhasil direbut. Ekspansi Islam pertama berhenti sampai di sini.
Pemerintahan Usman berlangsung selama 12 tahun, pada paruh terakhir masa kekhalifahannya muncul perasaan tidak puas dan kecewa di kalangan umat Islam terhadapnya. Kepemimpinan Usman memang sangat berbeda dengan kepemimpinan Umar. Ini mungkin karena umumnya yang lanjut (diangkat dalam usia 70 tahun) dan sifatnya yang lemah lembut. Akhirnya pada tahun 35 H 1655 M, Usman dibunuh oleh kaum pemberontak yang terdiri dari orang-orang yang kecewa itu.
Salah satu faktor yang menyebabkan banyak rakyat kecewa terhadap kepemimpinan Usman adalah kebijaksanaannya mengangkat keluarga dalam kedudukan tinggi. Yang terpenting diantaranya adalah Marwan ibn Hakam. Dialah pada dasarnya yang menjalankan pemerintahan, sedangkan Usman hanya menyandang gelar Khalifah. Setelah banyak anggota keluarganya yang duduk dalam jabatan-jabatan penting, Usman laksana boneka di hadapan kerabatnya itu. Dia tidak dapat berbuat banyak dan terlalu lemah terhadap keluarganya. Dia juga tidak tegas terhadap kesalahan bawahan. Harta kekayaan negara, oleh karabatnya dibagi-bagikan tanpa terkontrol oleh Usman sendiri.
Setelah Utsman wafat, masyarakat beramai-ramai membaiat Ali ibn Abi Thalib sebagai khalifah. Ali memerintah hanya enam tahun. Selama masa pemerintahannya, ia menghadapi berbagai pergolakan. Tidak ada masa sedikit pun dalam pemerintahannya yang dapat dikatakan stabil. Setelah menduduki jabatan khalifah, Ali memecat para gubernur yang diangkat oleh Utsman. Dia yakin bahwa pemberontakan-pemberontakan terjadi karena keteledoran mereka. Dia juga menarik kembali tanah yang dihadiahkan Utsman kepada penduduk dengan menyerahkan hasil pendapatannya kepada negara, dan memakai kembali sistem distribusi pajak tahunan diantara orang-orang Islam sebagaimana pernah diterapkan Umar.
Selama masa pemerintahannya, Ali menghadapi berbagai pergolakan, tidak ada sedikitpun dalam pemerintahannya yang dikatakan stabil. Setelah menduduki Khalifah, Ali memecat Gubernur yang diangkat oleh Khalifah Ustman. Beliau yakin bahwa pemberontakan-pemberontakan yang terjadi karena keteledoran mereka. Selain itu beliau juga menarik kembali tanah yang dihadiahkan oleh Ustman kepada penduduk dengan menyerahkan hasil pendapatannya kepada negara. Dan mememakai kembali system distrtibusi pajak tahunan diantara orang-orang Islam. Sebagaimana pernah diterapkan oleh Khalifah Umar bin Khatthab (Hasan, 1989:82).
Menyikapi berbagai kebijakan dan masalah-masalah yang dihadapi Ali, kemudian pemerintahannya digoncangkan oleh pemberontakan-pemberontakan (Syadzali,1993:27). Diantaranya adalah pemberontakan yang dipimpin oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan yang merupakan keluarga Usman sendiri dengan alasan:
1.      Ali harus bertanggung jawab atas terbunuhnya Khalifah Ustman.
2.      Wilayah Islam telah meluas dan timbul komunitas-komunitas Islam di daerah-daerah baru. Oleh karena itu hak untuk menentukan pengisian jabatan tidak lagi merupakan hak pemimpin yang berada di Madinah saja.
Namun karena situasi politik yang gawat pada waktu itu sehingga permintaan mereka  merupakan tuntutan yang tidak mungkin dipenuhi dalam waktu dekat. Seperti yang telah ditulis para sejarawan suasana politik pada saat itu memanas dikarenakan adanya rongrongan dari berbagai pihak, terutama pihak-pihak yang tidak menyetujui dan mengakui Ali menjabat sebagai Khalifah keempat.
Melihat keadaan sedemikian rumit, maka hal pertama yang memerlukan penanganan serius yang dilakukan Ali adalah memulihkan, mengatur dan menguatkan kembali posisinya sebagai Khalifah dan berusaha mengatasi segala kekacauan yang terjadi (Mahmudunnasir,1984:145).
Setelah itu baru melakukan pengusutan atas pembunuhan  Ustman.Namun sejak tahun 35 H/656 M, tahun pengangkatan Ali sebagai Khalifah  sampai tahun 36 H/657 M, Ali tidak juga memperlihatkan sikap yang pasti untuk  menegakkan hukum syariat Islam terhadap para pembunuh Ustman. Sehingga Siti Aisyah  bergabung dengan Tolhah dan Zubair menggerakkan kabilah-kabilah Arab untuk  menuntut balas atas kematian Ustman. Setelah dirasa mempunyai kekuatan yang besar  Siti Aisyah dan pasukannya memutuskan menyerang pasukan Ali di Kufah, yang  sebetulnya pasukan Ali dipersiapkan untuk menghadapi tantangan Mu’awiyah Ibn Abi Sufyan di Syiria. Ali sebenarnya ingin menghindari peperangan. Beliau mengirim surat kepada Thalhah dan Zubair agar mereka mau berunding untuk menyelesaikan perkara itu secara damai. Namun ajakan tersebut ditolak. Akhirnya pertempuran dahsyat antara keduanya pecah, yang selanjutnya dikenal dengan “Perang Jamal”. Pertempuran tersebut dipimpin oleh Aisyah, Thalhah dan Zubair.  Pertempuran inilah yang terjadi pertama kali diantara kaum muslimin. Dan yang  memperoleh kemenangan pada perang jamal adalah pasukan Ali, karena pasukan Ali lebih  berpengalaman dibanding pasukan Aisyah. Walaupun pasukan Aisyah mengalami  kekalahan, Aisyah tetap dihormati oleh Ali dan pengikutnya sebagai Ummul Mu’minin.  Bahkan setelah pertempuran usai, Khalifah Ali mendirikan perkemahan khusus untuk  Aisyah. Dan keesokan harinya Aisyah dipersilahkan pulang kembali ke Madinah yang  dikawal oleh saudaranya sendiri, Muhammad bin Abi Bakar. Demikianlah sejarah  terjadinya perang jamal yang merupakan perang pertama antara sesama umat Islam dalam  sejarah Islam
Kebijaksanaan-kebijaksanaan yang dilakukan Ali mengakibatkan perlawanan dari Gubernur di Damaskus, Mu’awiyah, yang didukung oleh sejumlah bekas pejabat tinggi yang merasa kehilangan kedudukan dan kejayaan. Selain itu, Mu’awiyah, Gubernur Damaskus dan keluarga dekat Ustman, seperti halnya Aisyah, mereka menuntut agar Ali mengadili pembunuh Ustman. Bahkan mereka menuduh Ali turut campur dalam pembunuhan Ustman. Selain itu mereka tidak mengakui kekhalifahan Ali (Nasution, 1986:14).
Hal ini bisa dilihat dari situasi kota Damaskus pada saat itu. Mereka menggantung jubah Ustman yang berlumuran darah bersama potongan jari janda almarhum dimimbar masjid. Sehingga hal itu menjadi tontonan bagi rombongan yang berkunjung. Dengan adanya peristiwa tersebut pihak umum berpendapat bahwa Khalifah Ali yang bertanggung jawab atas pembunuhan Ustman.
Pada akhir Dzulhijjah 36 H/657 M, Khalifah Ali dengan pasukan gabungan menuju ke Syiria utara. Dalam perjalanannya mereka menyusuri arus sungai Euprate, namun arus  sungai tersebut telah dikuasai oleh pihak Mu’awiyyah dan pihak Muawiyyah tidak  mengijinkan pihak Ali memakai air sungai tersebut. Awalnya Khalifah Ali mengirim utusan pada Mu’awiyah agar arus sungai bisa digunakan oleh kedua pihak, namun Mu’awiyah menolak. Akhirnya Khalifah Ali mengirim tentaranya dibawah pimpinan panglima Asytar al-Nahki dan dia berhasil merebut arus sungai tersebut. Meskipun sungai tersebut dikuasai pihak Ali, mereka ini tetap mengijinkan tentara Mu’awiyah memenuhi kebutuhan airnya.
Setelah sengketa tersebut selesai maka pihak Ali mendirikan garis pertahanan didataran siffin, dan Khalifah Ali masih berharap dapat mencapai penyelesaian dengan cara damai. Beliau mengirim utusan dibawah pimpinan panglima Basyir Ibn Amru untuk melangsungkan perundingan dengan pihak Mu’awiyah. Pada bulan Muharram 37 H/658 M mereka mencapai persetujuan yakni menghentikan perundingan untuk sementara dan masing-masing pihak akan memberi jawaban pada akhir bulan Muharram.